Jumat, 28 September 2012

Hedonisme Spiritual

Sering kita menyaksikan bahwa sekarang wisata-wisata spiritual marak di lakukan oleh pelaku-pelaku jasa perjalanan dengan destinasi yang beragam dan berwarna. Baik itu yang sifatnya domestik maupun luar negeri. Fenomena ini sangat menarik untuk ditelusuri, baik dari sisi sosial-ekonomi maupun dari sisi religiusitas. Dari sisi sosial-ekonomi menunjukkan bahwa banyaknya partisipan dari kegiatan ini mengindikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat sudah meningkat, sedangkan dari sisi religiusitas menunjukkan terjadinya tingkat sense of belonging dari para pemeluk agama, meskipun itu hanya sebatas tataran ritual formalistik.

Pencitraan kita tentang spiritual biasanya adalah sesuatu yang hanief, tingkat keimanan tertinggi, atau suatu praktek peribadatan yang berbeda dengan orang awam yang tidak mengenal seluk beluk agamanya sendiri. Kadang pula spiritual terlanjur dianggap sebagai sesuatu yg bebas dari hasrat indrawi dan asketisme.

Sedangkan terminologi "Hedonisme" adalah mazhab yang mengajarkan bahwa yang benar itu hanya kesenangan profan saja. Hedonisme oleh pengusung post modern sering mengacu pada sikap-sikap konsumtif orang-orang dewasa ini karena imbas modernitas yang turut melanggengkan kapitalisme Barat.

Dapatkah kita menahan diri kita sendiri agar tidak tergerus oleh hawa nafsu sesaat yang tak pernah padam? Kita mungkin tidak memperhatikan bahwa "hedonisme" itu juga bisa masuk pada lanskap spiritualitas kita. Antara "mesin hasrat" dan spiritualitas, tanpa sadar keduanya memiliki kesamaan pola dan itu benar-benar jauh dari perhatian kita. Ketika kita merasa nyaman dengan cara beragama kita, akhirnya kita melupakan hal penting, yaitu untuk terus mencari ilmu memperdalam cara beragama kita, atau kembali mempertanyakan esensi dari amaliah ibadah kita sehari-hari (baik secara vertikal maupun horizontal) agar spiritualitas dalam diri kita benar-benar dibangun di atas asas yang kokoh dan rasional, bukan euforia yang gamang tanpa tahu sedang melakukan apa. Kita menempelkan atribut-atribut, simbol-simbol dan identitas agama kita pada suatu hal yang sebenarnya adalah kelakuan dari jiwa kita yang berubah menjadi mesin, dan kemudian mengatakan “inilah spiritualitas”. Padahal kita tengah mabuk dan memonopoli kebenaran dengan berasaskan hedonisme belaka (sesuatu yang enak adalah kebenaran).

Belum terlambat kiranya, jika kita terus mempertanyakan apakah aktivitas religiusitas yang kita jalani apakah sudah benar-benar sesuai dengan peruntukannya (dalam segala dimensinya) ataukah hanya sekedar bunga-bunga dari entitas transendental kita.

Wallahu a'lamu bisshawab

1 komentar: