Kamis, 27 September 2012

KETIKA PENDIDIKAN ADALAH TANGGUNGJAWAB BERSAMA

Kemarin di koran Kompas diberitakan ada dua sekolah unggulan di Jakarta yang terlibat tawuran yang mengakibatkan siswanya terluka parah, bahkan ada satu orang yang meninggal dunia. Disinyalir bahwa penyebab terjadinya kasus ini adalah karena ketidakmampuan siswa-siswa di kedua sekolah tersebut dalam mengendalikan emosinya. Dan tragedi ini adalah merupakan pengulangan yang kesekian kalinya dari kasus-kasus tawuran antar pelajar di Ibu Kota.

Patut kita cermati lebih dalam, apa sebenarnya yang sedang terjadi di tengah-tengah komunitas lembaga pendidikan kita, apakah hal tersebut merupakan indikasi dari gagalnya pembumian nilai-nilai luhur keagamaan yang kental dengan nuansa tolerannya, ataukah karena memang generasi muda kita sudah sedemikian jauh berubah menjadi tunas bangsa yang menjadikan emosi (arogansi) di atas segala-galanya?

Dua pertanyaan mendasar tersebut di atas hendaknya menjadi pekerjaan rumah kita bersama ditengah begitu concern nya pemerintah (Kemendikbud) mengagendakan pendidikan karakter sebagai mainstream dari warna pendidikan kita dua tahun terakhir. Dan dalam hal ini pemerintah tidak tanggung-tangung menggelontorkan biaya yang tidak sedikit untuk mengejawantahkannya.

Sejatinya, fitrah pendidikan adalah bekal manusia untuk menjadikan dirinya menjadi panutan di bumi ini. Begitu mulianya makhluk yang namanya manusia, sampai-sampai pada tataran tertentu dia bisa melebihi derajat malaikat di hadapan Tuhan ketika ia selalu menggunakan akal dan kalbunya. Tetapi disisi lain dia bisa lebih rendah dari binatang manakala dia tidak mampu mengekang emosi (nafs) nya. Dan tantangannya adalah kedua potensi ini bisa silih berganti terjadi pada diri seseorang tergantung dari treatment spiritualitas yang dibangun dalam dirinya. Semakin sering ia mengasah akal dan kalbunya, maka semakin besar peluang baginya untuk menjadi prototype melebihi malaikat. Tetapi sebaliknya kalau ia semakin mengikuti nafs-nya tampa berusaha mengarahkannya ke hal-hal yang positif, maka semakin besar peluangnya untuk menjadi makhluk yang lebih rendah dari binatang.

Kalau kita melihat selama ini, masyarakat (orang tua) cenderung menyerahkan urusan pendidikan dalam segala ranahnya kepada institusi yang namanya sekolah. Padahal kalu kita mau telisik lebih dalam lagi ternyata urusan pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama, karena pendidikan adalah sesuatu yang sifatnya sistemik. Meminjam penjabaran tanggung jawab pendidikan dalam lanskap Ki Hajar Dewantara, maka yang bertanggung jawab adalah tiga sisi integrasi yang saling menopang satu sama lainnya, yaitu sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sehingga ketika masalah tawuran adalah masalah serius dalam dunia kependidikan kita, maka tidaklah tepat kalau yang disalahkan adalah satu sisi saja, dalam hal ini lembaga sekolah, tetapi semua lanskap harus merasa itu adalah masalah bersama yang harus dicari solusi terbaiknya. Karena bisa saja terjadi, di sekolah mereka diajarkan tentang toleransi, tetapi ketika mereka kembali ke rumah ataupun ketika bergaul di tengah-tengah masyarakat justru arogansi yang dipertontonkan dan disajikan sehari-hari.

Wallahu a'lamu bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar